Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.
shopee

Cerita Traveler: Menjadikan Masjid sebagai Titik Pemberhentian Utama

Catatan traveler yang menjadikan masjid sebagai "rumah" kedua untuk beristirahat selama dalam perjalanan

 

Aku selalu merasa bahwa setiap perjalanan memiliki ceritanya sendiri. Ada orang yang menandai perjalanan dengan kuliner khas daerah, ada yang mengoleksi foto landmark terkenal, ada pula yang mengingatnya lewat interaksi singkat dengan orang-orang baru. Tapi bagiku, perjalanan selalu diwarnai oleh masjid. Entah kenapa, setiap kali bepergian, Aku selalu menunggu momen ketika adzan berkumandang. Saat itulah Aku mencari masjid terdekat, menjadikannya sebagai titik istirahat, sekaligus tempat mengisi ulang tenaga, bukan hanya fisik tapi juga batin.

Seringkali, perjalanan panjang terasa melelahkan. Bayangkan saja, panas terik siang hari di jalanan antar kota, tubuh yang lengket karena keringat, atau rasa kantuk yang menyerang ketika berkendara terlalu lama. Tapi begitu adzan terdengar dan Aku memarkir kendaraan di halaman masjid, semua itu serasa mencair. Masjid, dengan segala kesederhanaan maupun kemegahannya, seperti oase yang selalu menyambutku dengan tangan terbuka.

Ada masjid yang sederhana, dindingnya dari papan kayu, kipas angin yang berputar malas di langit-langit, dan karpet tipis yang sudah agak pudar warnanya. Tapi begitu Aku bersujud di sana, ada rasa teduh yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ada pula masjid besar, megah dengan kubah menjulang dan ornamen indah di setiap sudutnya, yang membuatku merasa kecil sekaligus takjub. Dua-duanya sama-sama punya daya magis yang serupa: membuatku merasa pulang, meski sedang berada jauh dari rumah.

Kalau dipikir-pikir, tanpa sengaja Aku sering menjadikan waktu sholat sebagai “GPS” perjalanan. Misalnya, jika berangkat pagi, Aku tahu kira-kira menjelang Zuhur Aku harus mencari masjid di jalur yang Aku lalui. Setelah Zuhur dan istirahat sebentar, perjalanan dilanjutkan lagi sampai Ashar. Kalau perjalanan masih jauh, Aku berhenti lagi menjelang Maghrib. Tanpa terasa, ritme perjalanan seolah diatur oleh adzan.

Bahkan, beberapa kali Aku menemukan masjid di tempat-tempat yang tak terduga. Ada masjid kecil di tepi sawah, dengan angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela kayu. Ada juga masjid di pinggir pantai, di mana suara ombak terdengar samar saat sholat berjamaah. Atau masjid di tengah kota besar yang penuh hiruk pikuk, tapi begitu masuk ke dalamnya, dunia seakan berhenti sebentar.

Hal lain yang membuat persinggahan di masjid selalu berkesan adalah pertemuan dengan orang-orang baru. Duduk sejenak setelah sholat, Aku sering berbincang dengan jamaah lokal. Ada bapak-bapak yang bercerita tentang sejarah masjid, ada anak kecil yang riang menyapa sambil membawa mushaf kecil, bahkan ada pedagang keliling yang singgah sebentar untuk menunaikan kewajiban.

Percakapan itu biasanya sederhana, tentang arah jalan, tentang warung makan terdekat, atau sekadar berbagi senyum. Tapi dari situ Aku sering merasa bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga simpul pertemuan yang mempertemukan manusia dari berbagai latar belakang. Semua sejajar, semua melebur dalam saf yang sama.

Perjalanan panjang sering membuat tubuh penat. Namun ada hal yang berbeda saat beristirahat di masjid dibanding di rest area atau kafe. Di masjid, Aku bisa merebahkan diri sebentar setelah sholat, memejamkan mata di karpet yang harum meski sederhana, atau sekadar duduk di serambi sambil memandang halaman yang teduh. Hawa sejuk dari wudhu pun seperti memberi energi baru. Rasanya, ada semacam "reset" di setiap persinggahan itu. Perjalanan yang tadinya terasa berat, tiba-tiba terasa ringan lagi.

Aku mulai terbiasa membuat catatan kecil setiap kali singgah di masjid yang berkesan. Bukan dalam bentuk tulisan formal, tapi sekadar mencatat nama masjid dan kesan singkat. Misalnya: Masjid Al-Hidayah, pinggir sawah, sejuk sekali, suara burung gereja terdengar sepanjang sholat. Atau Masjid Jami’ di pusat kota – megah, wudhu dengan air yang sangat dingin, jamaah ramah sekali. Bahkan terkadang kalau sedang ingat Aku catat Nomor Listrik nya baik yang Token Prabayar atau Pasca Bayar, barangkali saja suatu saat ada rejeki lebih bisa untuk sedekah listrik di Masjid yang pernah Aku singgahi.

Catatan-catatan itu lama-lama seperti peta emosional yang menandai perjalanan hidupku. Setiap nama masjid membawa kembali ke momen tertentu, ke suasana hati tertentu, bahkan ke rasa syukur yang muncul pada saat itu.

Mungkin inilah yang membuatku selalu menjadikan masjid sebagai titik henti utama: perasaan pulang. Tak peduli sejauh apa Aku pergi, di masjid Aku selalu merasa seperti kembali ke rumah. Ada adzan yang sama, sholat yang sama, bacaan yang sama, meski logat imam berbeda atau karpetnya sederhana. Ada semacam rasa universal yang menyatukan, membuat Aku tidak pernah merasa benar-benar asing.

Pada akhirnya, setiap perjalanan akan sampai di ujungnya. Tapi Aku merasa perjalanan itu lebih berarti karena diwarnai oleh persinggahan-persinggahan di masjid. Di situlah Aku menemukan jeda, menemukan ketenangan, dan menemukan kembali diri sendiri yang kadang lelah, kadang resah, tapi selalu butuh disandarkan.

Masjid bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga rumah singgah yang selalu terbuka, di manapun berada. 

Religi
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar