Sujud


Ada banyak sesuatu dalam hidup yang membuat kita seringkali merasa lelah. Kadang bukan soal fisik, tapi batin yang seakan penuh beban. Ada hari-hari di mana kita merasa kuat, tapi lebih sering kita merasa rapuh. Pernah pada suatu malam aku duduk sendirian di kamar, lampu aku padamkan, televisi aku matikan dan aku hanya duduk di pinggiran kasur, terdiam. Saat itu aku merasa seperti kehilangan arah tujuan hidup ini, seperti seseorang yang berdiri di persimpangan jalan tidak tahu harus melangkah ke mana.
Di saat itulah aku kembali teringat pada satu hal yang sebenarnya selalu dekat denganku: sujud.
Aku tumbuh dengan terbiasa sholat, tapi jujur saja, dulu aku melakukannya lebih sebagai rutinitas. Gerakan sujud, ruku’, semuanya mengalir begitu saja. Aku hafal bacaannya, aku tahu urutannya, tapi aku tidak selalu merasakan kedalaman maknanya.
Ada masa ketika sujud hanya terasa sebagai gerakan terakhir sebelum aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sebagai gerakan salam untuk mengakhiri sholat. Tidak ada rasa apa-apa selain "tugas selesai". Tapi semakin aku beranjak dewasa dan menjadi tua, semakin hidup ini dipenuhi berbagai masalah dan pertanyaan, aku mulai menyadari bahwa sujud bukan sekadar gerakan saat sholat. Ada sesuatu yang jauh lebih besar di dalamnya.
Aku ingat satu waktu, ketika masalah datang bertubi-tubi. Pekerjaan yang kacau, hubungan dengan orang-orang di sekitarku yang renggang, ditambah rasa cemas soal masa depan. Aku merasa dunia menekanku, seolah pundakku tidak sanggup lagi menahan beratnya.
Malam itu aku sholat, tapi berbeda. Aku sujud lebih lama. Dahi menempel di sajadah, dan entah mengapa aku tidak ingin bangun. Di situlah aku menangis, bukan karena tahu doa apa yang harus kupanjatkan, tapi karena aku merasa begitu kecil di hadapan Allah. Rasanya seperti menyerahkan semua beban yang selama ini kupikul sendirian.
Aneh, tapi setelah itu hatiku terasa ringan. Masalahku memang tidak langsung hilang, tapi aku bisa melihatnya dengan lebih jernih. Seperti ada ruang lega yang tiba-tiba terbuka di dalam dadaku.
Kalau kupikir-pikir lagi, sujud itu unik. Di saat kita menempelkan dahi, bagian tubuh yang paling mulia, justru ke tanah, di situlah kita berada di posisi paling rendah di hadapan Allah. Tapi anehnya, justru di situlah aku merasa paling dekat dengan-Nya.
Ada paradoks yang indah dalam sujud. Tubuh kita merendah, tapi hati kita terangkat. Kita tunduk, tapi jiwa kita terhubung ke tempat yang paling tinggi. Dan aku percaya, itu sebabnya banyak orang mengatakan bahwa sujud adalah momen ketika kita paling dekat dengan Allah.
Ketika aku sujud lama, sering kali aku tidak tahu harus berkata apa. Kadang aku hanya diam, kadang aku menangis, kadang aku mengulang-ulang doa yang sederhana: Ya Allah, kuatkan aku.
Aku tidak selalu punya kata-kata indah untuk dipanjatkan, tapi ternyata Allah tidak butuh kalimat yang rumit. Dalam diam sekalipun, Dia tahu apa yang sedang aku rasakan. Dalam sujud, aku merasa sedang berdialog tanpa kata. Seolah seluruh beban yang ada di hati ini bisa tersampaikan meski bibirku hanya bergetar lirih.
Dari sujud aku belajar sesuatu yang tak bisa aku dapatkan dari buku manapun: kerendahan hati. Aku sering lupa bahwa aku ini rapuh. Kadang aku terlalu sibuk merasa bisa mengatur semuanya sendiri, seolah aku penguasa hidupku. Tapi setiap kali aku bersujud, aku diingatkan bahwa aku hanyalah hamba.
Dan anehnya, dari kesadaran itu lahirlah ketenangan. Aku tidak harus selalu kuat, karena ada tempat untuk bersandar. Aku tidak harus selalu tahu jawaban, karena ada yang Maha Mengetahui. Aku tidak harus selalu berhasil, karena hidup ini memang bukan tentang memenuhi ambisi semata, tapi juga tentang belajar menerima takdir.
Ada satu momen yang tak pernah kulupakan. Saat itu aku sakit, bukan penyakit parah, tapi cukup membuatku terbaring lemah berhari-hari. Aku merasa tak berguna, hanya tidur dan mengeluh. Tapi di tengah sakit itu, aku masih mencoba sholat sebisaku. Sujudku memang singkat dan tidak sempurna, tapi anehnya justru di situ aku menemukan ketenangan.
Aku sadar, sakit bisa merenggut banyak hal dariku, tapi tidak bisa merenggut hakikat sujudku. Dan di situlah aku merasa bahwa sujud adalah obat, bukan hanya untuk tubuh, tapi untuk jiwa.
Banyak orang mencari ketenangan dengan berbagai cara; liburan, hiburan, bahkan harta. Aku pun pernah melakukannya. Tapi setelah semua itu selesai, sering kali kosong lagi yang tersisa. Berbeda dengan sujud. Sekali aku merasakan ketenangan itu, rasanya bertahan lama. Bahkan ketika aku selesai sholat, hatiku masih membawa sisa kedamaian itu.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan sakînah, ketenangan yang turun dari Allah. Sesuatu yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dicari di luar, tapi hanya bisa dirasakan ketika hati benar-benar tunduk.
Sekarang, sujud bagiku bukan lagi sekadar gerakan dalam sholat. Ia sudah menjadi tempatku pulang. Setiap kali aku lelah, aku tahu ke mana harus kembali. Setiap kali aku bingung, aku tahu kepada siapa aku bersandar.
Aku masih jauh dari sempurna, aku masih sering khilaf. Tapi aku tahu, selama aku masih bisa bersujud, aku tidak benar-benar kehilangan arah. Karena di setiap sujud, aku selalu menemukan tenang yang tak bisa digantikan oleh apa pun.
Dan aku berharap, saat hari terakhirku tiba, aku masih dalam keadaan bersujud, dalam posisi paling rendah, tapi di momen paling dekat dengan Allah.