
Aku duduk di pembaringan sambil menyegarkan ingatan tentang mimpi yang baru saja aku alami. Ku basahi terlebih dahulu tenggorokan ini dengan segelas air sebelum lebih jauh otak ini bekerja menggali memori yang tertinggal di alam mimpi. Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara masjid yang sudah mulai menyetel suara murottal walaupun perkiraan waktu subuh masih kurang satu jam lagi.
Sekilas ada gambaran bahwa aku saat itu duduk dalam sebuah majelis dzikir. Beberapa ada yang ku kenali dan beberapa juga banyak yang belum ku kenal. Kami duduk bersama persiapan melantunkan dzikir yang terdapat dalam sebuah buku saku. Membersamai kami saat itu adalah seorang guru, seorang Habaib yang duduk bersila agak di depan namun masih terlihat jelas wajah Beliau, demikian juga dengan suara lantunan bacaan dzikir juga terdengar jelas.
Seperti biasa sebelum acara dzikir dimulai, aku saat itu sepertinya bertugas untuk membakar bukhur wewangian atau dupa arab. Kegiatan ini juga biasa aku lakukan di rumah sendiri di waktu pagi dan menjelang tidur. Asap wanginya yang khas membawa efek menenangkan dan kedamaian. Bahkan bagi sebagian orang dijadikan sebagai aromaterapi untuk ketenangan jiwa mereka. Namun di kalangan para Muhibbin, kegiatan ini termasuk membawa nilai-nilai sunnah dalam agama Islam karena wewangian bisa mengundang para malaikat hadir di tempat tersebut.
"Mas, sudah cukup bakar bukhurnya. Ayo kita sama-sama ikut majelis dzikir yang akan dimulai", terasa olehku ada seseorang yang mencolek lenganku. Aku pun bangkit dan segera bergabung majelis dzikir tersebut sampai selesai.
Ku ikuti majelis sampai selesai dengan hikmat. Lantunan dzikir dan bacaan-bacaan kalam Ilahi meresap menyentuh kalbu. Rasa seperti kesegaran alami di saat menghirup udara segar di waktu subuh mengalir dalam nadi dan setiap sarafku. Laksana bumi yang terbasahi oleh air hujan untuk pertama kalinya setelah kekeringan panjang, ada sensasi "Nyesss" di setiap tarikan nafas yang semakin damai penuh kepasrahan kepada sang Ilahi.
Majelis Rauha ini hanya berlangsung maksimal 2 jam. Selain kegitan dzikir dan bacaan yang lain, sebelum acara selesai selalu tausiyah singkat dari sang Habaib. Sebelum doa, juga selalu ada acara ramah tamah yang tujuannya lebih ke pengenalan dari masing-masing pribadi jamaah kepada sang guru. Rata-rata yang hadir sudah dikenali oleh sang guru, hingga kepada giliranku sebenarnya yang malah di cuekin.
Ada rasa minder, ada rasa rendah diri, ada rasa penasaran yang jadi satu pertanyaan, ternyata Habib tidak menoleh kepadaku, ternyata Habib tidak mengenaliku. Aku tertegun, aku tertunduk malu kepada diri sendiri. Rasa nafsu ini mulai bergejolak ingin bersifat menonjolkan diri, ingin menjadi yang dikenal, tapi kalbu ini menyatakan lain untuk lebih instropeksi diri ke dalam diri sendiri dan menenangkan nafsu ini.
Setiap kita ummat Nabi Muhammad SAW pasti sangatlah ingin di kenali oleh Beliau. Jarak ribuan tahun bukanlah penghalang karena dalam diri kita ada satu titik seperti identitas yang bisa menjadi pertanda bahwa kita adalah ummat Beliau. Adalah mudah untuk mengaku sebagai salah satu ummat Beliau, tapi pengakuan dari Beliau sendiri kalau kita diakui sebagai ummat Beliau adalah salah satu tiket emas menuju surga yang banyak diinginkan oleh umat Islam.
Seperti halnya pengakuan dari seorang guru kalau kita adalah murid dari guru tersebut. Bukan hanya membawa kemudahan dan kelancaran dari sebuah perjalanan seseorang, tapi bisa jadi itu adalah sebuah jalan pintas untuk menuju ke situasi yang paling diharapkan di tengah sebuah persaingan yang sulit.
Dalam lamunanku, akupun tertegun mulai banyak pertanyaan dari diriku sendiri. Apakah mimpi ini adalah sebuah isyarat bagiku bahwa diri ini masih jauh dan semakin jauh dari junjungan hati ini Beliau Rasulullah Muhammad SAW ?
Wahai kekasih Allah,
andai kelak langkahku terhenti di padang mahsyar,
dan pandanganmu menelusuri lautan manusia,
namun tak menemukan wajahku di antara mereka…
maka hancurlah seluruh harapku.
Aku takut, wahai Rasulullah,
andai aku dipalingkan dari telagamu,
karena noda dosa yang menutup cahaya imanku.
Padahal di setiap sujudku,
namamu kusebut lirih,
dalam rindu yang tak pernah habis.
Ya Allah…
Jangan biarkan aku menjadi orang asing di hadapan Nabi-Mu,
jangan biarkan Beliau berpaling dariku,
karena aku tak layak disebut umatnya.
Kuatkan kakiku menapaki jalan sunnahnya,
agar kelak, saat pandangan itu bertemu,
aku mendengar suara lembut penuh kasih,
“Umatku… kemarilah…”
Shollu 'ala nabi ....