Di Gubuk Kecil, Aku Menemukan Diriku


Pagi itu selepas sholat subuh dari Masjid di kotaku, kulangkahkan kaki ini menuju ke sebuah tempat yang cocok untuk sedikit melepaskan penat dan kebisingan dari dalam otak pikiranku.Tempat ini sudah sering aku kunjungi karena jiwaku adalah seorang pemikir, seorang perasa dan merasa lebih nyaman jika ada ruang luas untukku bisa menyendiri.
Suasana masih pagi, kabut tipis masih menyelimuti jalanan yang aku lalui. Tidak banyak orang yang melalui jalan ini karena memang bukan jalan besar dan tidak bisa dilewati kendaraan bermotor. Aku melangkah tanpa tergesa-gesa, di kanan kiri pepohonan rindang berdiri dengan kokohnya seolah-olah menjadi pengawal yang setia menyertai. Suara burung berpadu menyambut pagi yang berselimut kabut.
Tiba di suatu gubuk atau lebih tepatnya seperti bangunan poskamling, aku duduk sambil berucap "Alhamdulillah". Bagiku, tempat ini adalah singgasana sunyi ku. Kutundukkan kepalaku sejenak, kuheningkan rasa ini dan ku hirup napas lebih dalam untuk bisa menyerap udara segar di pagi ini lebih dalam sampai ke setiap ujung paru-paruku. Kakiku menggantung sambil aku goyangkan kecil. Kupasrahkan rasa ini sepenuhnya, sambil memandangi pepohonan yang bergoyang tertiup angin.
Sambil memandangi pepohonan yang bergoyang tertiup angin, sebuah kesadaran menyelinap masuk. Aku tersadar… aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Tidak ada gelar yang bisa mengubah fakta itu, tidak ada pencapaian yang bisa menghapusnya. Aku hanyalah satu titik kecil, hampir tak terlihat, di tengah semesta yang begitu luas. Dan entah mengapa, menyadari hal itu tidak membuatku merasa kecil… justru membuatku merasa bebas.
Dulu, aku sering merasa harus membuktikan diri. Harus punya prestasi. Harus punya sesuatu yang membuat orang lain berkata, "Wah, dia hebat". Tapi semakin aku berlari mengejar semua itu, semakin aku merasa kosong. Hingga akhirnya, aku sampai pada titik di mana aku lelah. Lelah untuk terus membandingkan diri dengan orang lain. Lelah untuk mengejar sesuatu yang, kalau pun kudapat, belum tentu membuatku tenang.
Kini, duduk di gubuk ini, aku sadar bahwa aku tidak perlu menjadi apa pun untuk merasa cukup. Aku tidak perlu menjadi pusat perhatian. Tidak perlu memaksa dunia untuk mendengarkan suaraku. Aku hanya perlu menerima bahwa aku hanyalah bagian kecil dari sebuah rencana besar, dan tugasku hanyalah menjalani peran yang telah dituliskan untukku, sebesar atau sekecil apapun itu.
Aku memandangi jalan berkabut di depan. Kabutnya seperti melambangkan semua ketidakpastian dalam hidup. Dulu, aku benci ketidakpastian. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi besok, tahun depan, atau bahkan sepuluh tahun ke depan. Tapi sekarang… aku belajar untuk berdamai dengannya. Aku tidak perlu tahu semua jawabannya. Aku hanya perlu melangkah, satu langkah demi satu langkah. Jika jalan ini membawaku ke lembah yang sunyi, aku akan duduk dan menikmatinya. Jika jalan ini membawaku ke puncak, aku akan mensyukurinya tanpa merasa bahwa puncak itu adalah tujuan akhir.
Angin berhembus lagi, membuat dedaunan berdesir pelan. Suaranya seperti bisikan lembut yang berkata, "Tidak apa-apa". Tidak apa-apa jika hari ini tidak berjalan sesuai rencana. Tidak apa-apa jika tidak ada yang mengenalmu. Tidak apa-apa jika hidupmu sederhana. Karena pada akhirnya, semua yang kita perjuangkan akan kembali menjadi debu, dan yang tersisa hanyalah hati yang tenang.
Aku menarik napas lagi, kali ini lebih panjang. Merasakan udara memenuhi paru-paru lalu keluar perlahan. Rasanya seperti melepaskan sesuatu yang telah lama kugenggam terlalu erat. Mungkin ini yang disebut berdamai. Bukan berarti semua luka sembuh, atau semua masalah selesai. Tapi berdamai berarti menerima bahwa hidup akan selalu membawa gelombang, dan kita hanya perlu belajar mengapung di atasnya, bukan melawannya.
Pagi semakin terang. Kabut mulai menipis, memberi ruang bagi sinar matahari yang hangat. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan cahaya itu menyentuh wajahku. Dalam hati, aku berdoa… bukan untuk meminta hidup yang sempurna, tapi untuk meminta hati yang cukup lapang untuk menerima segala yang tidak sempurna.
Aku teringat kata-kata yang pernah kudengar dari seseorang yang kuanggap guru, "Yang tenang, hidup adalah tentang belajar melepas. Melepas ego, melepas ambisi yang membebani, melepas harapan yang tak sejalan dengan takdir. Dan di saat kita benar-benar bisa melepas, kita akan merasakan sebuah kebebasan yang tidak bisa dibeli dengan apa pun".
Aku bukan siapa-siapa. Dan itu tidak apa-apa. Karena menjadi "bukan siapa-siapa" berarti aku tidak terikat pada ekspektasi siapa pun. Aku bisa menjadi apa saja, atau bahkan tidak menjadi apa-apa, dan tetap merasa cukup.
Di gubuk ini, dengan angin pagi yang lembut, aroma tanah basah, dan suara burung yang masih setia berkicau, aku merasa menemukan rumah. Bukan rumah yang terbuat dari tembok dan atap, tapi rumah di dalam diriku sendiri, tempat di mana aku bisa kembali kapan saja, tanpa peduli di mana kakiku berpijak.
Dan mungkin, inilah arti sebenarnya dari perjalanan hidupku. Bukan untuk menemukan sesuatu di luar sana, tapi untuk menemukan kedamaian di dalam sini.
Aku tersenyum tipis. Matahari sudah mulai menghangatkan bumi, dan kabut hampir menghilang sepenuhnya. Tapi aku tahu, setiap kali aku kembali ke sini, kabut itu akan datang lagi. Sama seperti hidup, yang selalu membawa misteri baru. Dan aku akan selalu siap menyambutnya… dengan hati yang telah berdamai.